APBN Makin Berat, Subsidi Listrik Kian Membengkak

(Foto:Ilustri Berat Beban Subsidi Listrik)
Jakarta, KORANTRANSAKSI.com – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 makin besar pasak daripada tiang. Setelah pendapatan menurun karena penerimaan pajak tak mencapai target, beban belanja makin besar. Salah satunya lonjakan subsidi listrik.

Dari alokasi Rp 87,72 triliun, subsidi listrik melonjak menjadi Rp 97,37 triliun hingga Rp 104,97 triliun. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengusulkan kenaikan subsidi itu dalam rapat kerja bersama Komisi bidang Energi Dewan Perwakilan Rakyat pada 2 Juli 2025.

Bahlil berjanji, meski naik, subsidi listrik akan disalurkan lebih tepat sasaran, yakni hanya kepada golongan yang berhak, seperti rumah tangga miskin dan rentan. Pemerintah menetapkan penerima subsidi terbesar berasal dari rumah tangga dengan daya 450 VA, yaitu 43,1 persen, disusul rumah tangga 900 VA sebesar 21 persen, sektor sosial 15,1 persen, bisnis kecil 11,9 persen, dan industri kecil 7,8 persen. Pemerintah daerah dan golongan lain masing-masing menyumbang di bawah 1 persen.

Pemerintah memperkirakan jumlah pelanggan dan volume penjualan subsidi listrik melonjak tahun depan, dari 43,43 juta pelanggan menjadi 44,88 juta. Volume penjualan terkerek dari 76,63 TWh menjadi 81,56 TWh.

Bahlil menyebutkan lonjakan ini berasal dari tambahan pelanggan bersubsidi hasil integrasi data kesejahteraan sosial antara Kementerian ESDM dan PLN serta permintaan baru lewat program pemasangan listrik.

Di hadapan Komisi Energi, Bahlil menjelaskan kenaikan subsidi ini memperhitungkan parameter makroekonomi, seperti harga minyak mentah Indonesia (ICP) di angka US$ 60-80 per barel, nilai tukar rupiah Rp 16.500-16.900 per dolar AS, dan inflasi 1,5-3,5 persen. Jika terealisasi, subsidi listrik tahun depan akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah APBN, menyentuh angka Rp 100 triliun.

Sepanjang 2015-2022, anggaran subsidi listrik bergerak fluktuatif di kisaran Rp 45-58 triliun. Angkanya sempat turun dari Rp 51,71 triliun pada 2019 menjadi Rp 47,99 triliun pada 2020, lalu terus naik setiap tahun. Meski belum tersedia anggaran subsidi untuk 2026, realisasi tahun ini diperkirakan membengkak dari Rp 87,72 triliun menjadi Rp 90,32 triliun.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu menjelaskan lonjakan ini disebabkan oleh fluktuasi kurs dan harga minyak mentah. “Ini sangat volatile dan tidak bisa dikendalikan,” ujarnya.

Peningkatan volume penjualan juga ikut membebani subsidi. Penjualan pada 2020 sebesar 55,38 TWh, lalu meningkat menjadi 71,52 TWh pada 2024. Pemerintah menargetkan penjualan sebesar 73,13 TWh pada tahun ini, tapi Kementerian memperkirakan bisa naik menjadi 76,63 TWh. “Mungkin ekonomi masyarakat lebih baik sehingga penggunaan listriknya bertambah,” ujarnya. Hingga Mei 2025, realisasi penyaluran subsidi mencapai Rp 34,6 triliun dengan volume penjualan 31,17 TWh.

Anggota DPR, Ramson Siagian, menilai pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap PLN dalam program subsidi. Ia mengingatkan PLN sudah menerima berbagai insentif, seperti harga batu bara US$ 70 per metrik ton saat harga pasaran mencapai US$ 200.

Ramson menegaskan, PLN tak bisa terus bergantung pada subsidi. Ia juga mendorong adanya efisiensi dan penguatan manajemen. “Subsidi listrik itu sebenarnya terlalu tinggi. Seharusnya biaya per kWh direndahkan,” ujar legislator Partai Gerindra itu. (TIM)

 

Posting Komentar

0 Komentar