| Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty (Foto:dok) |
"Kita tidak boleh
kalah bersaing. Jika negara-negara tetangga sudah membuka visa gratis dan
kunjungan mereka meningkat tajam, Indonesia harus melakukan langkah serupa agar
tetap kompetitif di ASEAN maupun global," kata Evita.
Lebih lanjut Evita
menjelaskan, saat ini negara negara seperti Thailand, Malaysia, Singapura,
Filipina, Vietnam, Kamboja, Laos, Brunei, hingga Myanmar telah memberikan bebas
visa kunjungan kepada sebagian besar wisatawan asing, termasuk wisatawan dari
pasar-pasar besar seperti China, India, Rusia, Eropa, dan negara-negara Timur
Tengah.
Sebagai negara dengan
potensi pariwisata terbesar di kawasan seperti Bali, Labuan Bajo, Raja Ampat,
Mandalika, Danau Toba, Likupang, Borobudur, dan ratusan destinasi lainnya, dia
menilai Indonesia justru belum memaksimalkan peluang tersebut.
Menurut dia, kebijakan
bebas visa terbukti meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan secara signifikan
serta memperkuat industri pariwisata negara-negara tersebut. Sedangkan
Indonesia justru mencabut kebijakan bebas visa kunjungan wisata pada saat
negara lain berlomba memberikannya pascapandemi COVID-19.
Hal itu, dinilai
menjadi salah satu penyebab wisman ke Indonesia tidak banyak perkembangannya
dibandingkan negara tetangga pascapandemi COVID-19. Dia mencatat kunjungan ke
Malaysia itu pada delapan bulan pertama 2025 sudah mencapai 28 juta dari target
31,4 juta tahun 2025. Thailand mencapai 24 juta pada sembilan bulan pertama
2025 dan mereka target 33,4 juta tahun ini.
Sedangkan, Indonesia
dalam sembilan bulan pertama 2025 baru meraih 11,43 juta dari target 15 juta
sampai akhir 2025. Data itu pun didominasi oleh wisman yang berkunjung ke Bali
yaitu sekitar 5,3 juta pada Januari-September 2025, sementara destinasi lain
terkesan sepi.
"Bali memang ramai
tapi jangan lupa secara nasional kita melihat destinasi wisata kita itu belum
mampu menarik lebih banyak wisman untuk berkunjung, seperti Danau Toba, Batam,
Jakarta, Likupang-Manado, Lombok, Makassar, Bangka Belitung, dan lainnya,"
kata dia.
Menurut Evita, kebijakan bebas visa akan memberikan dampak ekonomi yang besar, antara lain meningkatkan jumlah kunjungan wisman secara drastis, yang kemudian akan mendorong belanja wisatawan yang berdampak langsung pada UMKM, hotel, restoran, transportasi, dan pelaku ekonomi kreatif, memperluas lapangan kerja, menumbuhkan investasi dan konektivitas udara.
Komisi VII DPR RI, menilai
kebijakan visa Indonesia masih terlalu restriktif, dan tidak sejalan dengan
semangat peningkatan daya saing pariwisata nasional. Meskipun begitu, dia pun
menyerahkan kepada pemerintah terkait syarat batas waktu kunjungan bagi wisman
dengan tetap memperhatikan aspek keamanan nasional dan pengawasan keimigrasian.
"Apakah
dikembalikan seperti sebelumnya diberikan untuk 159 negara atau harus dipilih
berdasarkan potensi kunjungan yang lebih besar kita persilakan kepada
pemerintah untuk menentukannya," katanya.
Selain itu, dia juga
berharap teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk membantu tata kelola
kebijakan bebas visa kunjungan ini sehingga lebih mudah, mempercepat
pemeriksaan di bandara, meminimalkan human error, hingga mengurangi beban
petugas Imigrasi dengan tingkat keamanan tinggi.
"Teknologi digital
sekarang memungkinkan untuk mempermudah proses dengan pemeriksaan lebih cepat,
mendeteksi potensi risiko, dan memastikan keamanan tetap terjaga tanpa
menghambat wisatawan, dan pengambilan kebijakan berbasis data sebagaimana
diterapkan di negara-negara lain," katanya. (RED)




0 Komentar