![]() |
Forum Diskusi Ombudsman RI beserta dengan jajaran instansi terkait membahas layanan keimigrasian di Jakarta pada Rabu (25/6/2025) |
Perbaikan fundamental
di tubuh imigrasi dianggap krusial untuk memastikan pelayanan publik yang adil,
transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Demikian disampaikan
Kepala Keasistenan Utama Manajemen Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI,
Andi. Perbaikan tersebut didasari data serta fakta lapangan terkait serangkaian
asus TPPO lintas batas yang mencuat di awal tahun 2025.
"Pengawasan
terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang akan ke luar negeri perlu diperkuat
untuk menghindari risiko perdagangan orang. Standar wawancara dan deteksi dini
terhadap pemohon yang berisiko, misalnya, belum dijalankan optimal," ujar
Andi.
Salah satu yang paling
menonjol adalah penangkapan sindikat perdagangan orang di Bandara Soekarno-Hatta
pada Februari 2025. Sindikat ini, dengan modus operandi yang rapi, berupaya
menyelundupkan puluhan pekerja migran non-prosedural ke negara-negara Timur
Tengah.
Kasus tersebut secara
gamblang menyingkap kerentanan di titik-titik keberangkatan, sekaligus
menyoroti betapa lemahnya identifikasi awal terhadap calon korban TPPO.
Kurangnya koordinasi antar lembaga, ditambah dengan prosedur standar yang belum
terimplementasi secara optimal, telah membuka celah bagi para pelaku kejahatan
ini.
Di luar isu TPPO,
Ombudsman juga menemukan berbagai bentuk maladministrasi dan ketimpangan
pelayanan yang meresahkan. Ombudsman telah mengidentifikasi setidaknya 13 jenis
kanal pengaduan yang masuk. Mulai dari WhatsApp, email, website, hingga
kunjungan langsung ke kantor imigrasi.
Kurangnya koordinasi antar lembaga, ditambah dengan prosedur standar yang belum terimplementasi secara optimal, telah membuka celah bagi para pelaku kejahatan. Mayoritas laporan yang diterima Ombudsman secara konsisten menunjukkan kebingungan masyarakat dalam proses permohonan.
Hal ini diperparah dengan temuan lapangan yang cukup mencengangkan: seringkali petugas keamanan (Satpam) di beberapa kantor imigrasi justru lebih memahami prosedur dan dapat memberikan penjelasan lebih lengkap dibandingkan petugas resminya. "Ini mencerminkan bahwa ada gap besar dalam pelatihan dan standarisasi," kata Andi.
Kesenjangan kompetensi
ini tidak hanya menghambat efisiensi pelayanan, tetapi juga merusak kepercayaan
publik terhadap institusi. Masyarakat merasa tidak dilayani secara profesional
dan seringkali harus bolak-balik karena informasi yang tidak akurat dari sumber
resmi.
Selain masalah TPPO dan
kompetensi SDM, Ombudsman menyoroti krusialnya perlindungan identitas WNI dan
kesiapsiagaan dokumen saat bencana. Andi mengingatkan kembali pelajaran
berharga dari tragedi masa lalu, seperti bencana Palu dan Cianjur.
“Ketika bencana Palu
dan Cianjur terjadi, kami mendapati korban kesulitan mengakses layanan hanya
karena kehilangan dokumen. Sistem seharusnya mampu mengantisipasi itu,”
tegasnya.
Pentingnya kesiapan ini
semakin mendesak, mengingat peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi di
Indonesia pada pertengahan 2025. Bencana banjir, longsor, dan puting beliung
yang terjadi akhir-akhir ini kerap menyebabkan kehilangan dokumen penting bagi
para korban, menghambat akses mereka terhadap bantuan dan layanan dasar
lainnya.
Imigrasi, sebagai salah
satu garda terdepan dalam administrasi kependudukan WNI, harus memiliki sistem
yang tanggap darurat, memungkinkan identifikasi dan verifikasi data yang cepat
bahkan saat dokumen fisik hilang. Untuk mengatasi berbagai persoalan ini,
Ombudsman mendorong integrasi sistem antar instansi.
Andi mencontohkan
usulan integrasi data antara imigrasi dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(Dukcapil). Integrasi ini akan sangat mempermudah masyarakat karena tidak perlu
lagi bolak-balik mengurus data yang sama di dua instansi berbeda hanya untuk
satu permohonan. Sayangnya, Andi mengakui bahwa usulan ini masih terkendala
penganggaran. (TIM)
0 Komentar