KPK Usul Pasal Gratifikasi Dihapus, Apa Kata Pakar Hukum?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Jakarta, KORANTRANSAKSI.com - Ketua KPK Setyo Budiyanto mengusulkan agar pasal gratifikasi dalam UU Tipikor dihapus. Lantas, apa kata pakar hukum mengenai usulan tersebut? Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, mengaku tak sepakat dengan usulan Setyo. Dia menilai, pasal gratifikasi mesti tetap ada dan bahkan diperkuat.

"Ya kalau saya tidak sependapat ya. Karena spirit-nya beda suap dan gratifikasi. Suap sama gratifikasi itu beda, sumber masalahnya itu gratifikasi," kata Hibnu kepada wartawan, Selasa (7/10).

Pasal mengenai gratifikasi diatur dalam Pasal 12 B UU Tipikor yang berbunyi "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya".

Ancaman pidana dalam pasal tersebut adalah pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Hibnu menjelaskan, penguatan pasal gratifikasi perlu dilakukan dengan memperjelas aturan pemberian. Menurutnya, harus dibedakan antara pemberian yang diperbolehkan dan tidak.

"Pasal gratifikasi itu memperkuatnya harus dibedakan secara jelas, mana pemberian sebagai penyalahgunaan wewenang, mana pemberian sebagai hubungan kemanusiaan," jelas Hibnu.

Dia menilai, tak ada keuntungan yang didapat bila pasal gratifikasi dihapus. Mengingat, gratifikasi merupakan sumber suatu tindak korupsi. "Enggak ada, justru sekarang itu yang sudah ada itu, ditambah delik delik mana yang baru yang merupakan tindak pidana korupsi. Jangan dikurangin, ditambah," tuturnya.

Pemberi Gratifikasi Harus Dipidana

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Fatahillah Akbar, juga menolak adanya usulan penghapusan pasal gratifikasi. Menurut dia, pasal mengenai gratifikasi itu diperlukan untuk melengkapi upaya pemberantasan korupsi.

"Ya jangan, jangan dihapus. Karena pas itu untuk memberantas tindak pidana korupsi secara umum dan juga memidana segala jenis bentuk suap," ujar dia.

Senada dengan Hibnu, dia juga menilai penguatan pasal gratifikasi juga mesti dilakukan. Salah satunya dengan memidanakan para pemberi gratifikasi. "Seharusnya pemberi gratifikasi pun bisa dipidana dengan Pasal 13 (UU Tipikor), gitu. Jadi pemberinya juga harus hati-hati," ucap Fatahillah.

Dia menjelaskan, gratifikasi dan suap memiliki perbedaan mendasar, yakni soal adanya kesepakatan dalam pemberian barang, hadiah, atau janji. Dalam suap, penerima dan pemberi sudah memiliki kesepakatan. Sedangkan gratifikasi, pemberi tak menuntut apa-apa dalam memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara.

Sehingga, Fatahillah menilai, pasal gratifikasi semestinya tetap dipertahankan. Karena bila dihapus akan marak terjadi pemberian kepada para penyelenggara negara. "Jadi menurut saya, ketika kita mau meniatkan atau bertujuan pemberantasan korupsi yang lebih efektif, malah seharusnya dipertahankan pasal suap, agar segala jenis bentuk suap, termasuk gratifikasi, itu bisa dipidana," jelasnya.

Usulan Pasal Gratifikasi Dihapus

Usulan penghapusan pasal gratifikasi itu disampaikan Setyo Budiyanto dalam acara peluncuran "Beneficial Owner Gateway" di Kantor Kemenkum, Jakarta, Senin (6/10). Dia menilai, keberadaan pasal gratifikasi kadang bias dengan suap.

"Kalau perlu gratifikasi itu malah dihilangkan, dihapuskan saja, supaya tidak bias antara gratifikasi dengan suap," kata Setyo dalam acara Launching Beneficial Owner Gateway di Kantor Kemenkum, Jakarta, Senin (6/10).

Dalam aturannya, seorang penyelenggara negara harus melaporkan gratifikasi yang diterimanya ke KPK dalam waktu 30 hari. Bila lewat, maka penerimaan termasuk dalam pelanggaran hukum. Kadang kurun waktu ini menjadi celah untuk dimanfaatkan.

"Sekarang orang masih berpikir, 'ah yang penting saya kasih waktu 30 hari'. Begitu 30 hari, kurang satu detik lupa, lewat 31 hari sudah kena aturan, jatuhnya masuk ke suap," jelas Setyo.

Karenanya, Setyo meminta adanya perubahan dalam UU Tipikor. Termasuk menambahkan beberapa praktik korupsi yang belum diatur dalam UU tersebut. "Nah ini tentu dari KPK sangat berharap bahwa perubahan Undang-Undang Korupsi adalah sebuah keniscayaan ya, untuk perbaikan pemberantasan korupsi di Republik Indonesia," ucap Setyo. (TIM)

 

Posting Komentar

0 Komentar