Saya hari ini Sabtu, 24
Agustus 2019 pukul 15.15-16.15 WIB kembali melihat "Kompas.TV," tentang perjalanan seorang pengusaha
Indonesia Youk Tanzil di Papua. Ini merupakan siaran ulangan
Kompas.TV,"Senin, 10 Desember 2018, sekitar pukul 08.30 pagi WIB.
Perjalanan Youk Tanzil
bersama timnya dari Wamena ke Jayapura dilakukannya dengan memakai sepeda motor
(trail) dengan jarak 3.360 kilometer.
Saya menyaksikan
perjalanan itu melalui "Kompas.TV" yang memperlihatkan ruas-ruas
jalan sedang dibangun. Tanah-tanah yang licin dan keramahan penduduk
Papua, juga diceritakan oleh Youk
Tanzil. Tidak ada sponsor, ujarnya. Perjalanannya dibiayai sendiri karena ia
seorang pengusaha. Lebih jauh dari itu, memang ia gemar melakukan perjalanan.
Dari penuturan Youk
Tanzil, memang diakuinya penyelesaian
bangun jembatan dan jalan itu begitu cepat selesai, sehingga sudah dapat segera
dimanfaatkan penduduk. Mereka membutuhkan sekali sarana dan prasarana seperti
ini, karena sebelum dibangun, jarak yang begitu jauh, bisa memakan waktu
berhari-hari.
Apalagi sebelumnya
mereka melalui hutan yang lebat. Dengan adanya pembangunan, semakin luas pula
area daratan yang berpenghuni dan tidak berhutan lagi.
Membangun Papua,
membagun sesuatu di wilayah berbukit-bukit. Juga berhutan lebat. Wilayah Papua
tidak sama dengan di Pulau Jawa.
Jika di Pulau Jawa
wilayahnya banyak dataran, tetapi di Papua, wilayahnya memang diciptakan oleh
Tuhan berbukit-bukit. Lihatlah foto kota Jayapura yang sudah tersebar di
mana-mana di seluruh Indonesia. Indah dan berbukit-bukit.
Memang selama ini
banyak yang menyamakan kasus Papua dengan Timor Timur (Timtim) yang sudah lepas
dari Indonesia. Buat bangsa Indonesia sudah tentu sudut pandangnya berbeda.
Awalnya Timtim bergabung dengan Indonesia, ketika muncul keinginan sebuah
partai politik yaitu APODETI bersama UDT yang ingin berintegrasi dengan
Indonesia pada 28 November 1975, ABRI melakukan invasi militer ke Timor Timur
pada 7 Desember1975.
Selama masa invasi,
massa penolak integrasi (FRETILIN) dibantai oleh pasukan ABRI, sedangkan
anak-anaknya dibawa ke Indonesia untuk diasuh oleh keluarga militer Indonesia.
Setelah berhasil ditaklukkan, koalisi APODETI-UDT membentuk Pemerintah Sementara
Timor Timur dengan Arnaldo dos Reis Arajo sebagai ketuanya.
Masyarakat merasa ingin
bersatu dengan Indonesia karena persamaan budaya dengan saudara serumpunnya,
Timor Barat. Bahkan pada saat Presiden Soeharto menghadiri peringatan 2 tahun
Integrasi Timtim di Gedung DPRD Tingkat I Timor Timur, ia mengatakan bahwa
Timor Timur adalah 'anak yang hilang dan telah kembali ke pangkuan ibu
pertiwi'.
Di masa Presiden
B.J.Habibie Timtim lepas dari Indonesia. Ini pengalaman buruk buat Indonesia.
Menteri Luar Negeri Ali Alatas waktu itu sempat menitikan air mata. Ia mengaku
tidak terlalu dilibatkan dalam persoalan Timtim. Jadi masalah Timor Timur tidak
sama dengan Papua.
Ketika Proklamasi 17
Agustus 1945, di wilayah Tanah Papua sudah muncul gerakan pro-Indonesia.
Misalnya di Serui, lahir Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) yang
dimotori Silas Papare.
Di Biak berdiri Partai
Indonesia Merdeka (PIM) yang digagas oleh Frans Kaisepo dan dipimpin oleh Lukas
Rumkorem. Di Abepura (Jayapura) berdiri
Komite Indonesia Merdeka (KIM) oleh J.A. Gerungan yang kemudian diketuai
Martgen Indey.
Presiden Jokowi
didampingi Mensesneg menyampaikan keterangan pers terkait perkembangan di
Papua, di Istana Bogor, Jabar, Kamis, 22 Agustus 2019.
Presiden mengemukakan,
bahwa dirinya terus mengikuti perkembangan yang ada di tanah Papua. Ia
bersyukur karena situasi di Papua sudah mulai berjalan normal kembali.
"Alhamdulillah
situasi sudah berjalan normal kembali, permintaan maaf sudah dilakukan dan ini
menunjukkan kebesaran hati kita bersama untuk saling menghormati, untuk saling
menghargai sebagai saudara sebangsa dan setanah air," kata Presiden.
Jadi dikaitkan dengan
pengalaman Youk Tanzil dan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), maka
pembangunan di Papua harus tetap dijalankan. Hal itu sudah tentu pembangunan
sarana dan prasarana demi mensejahterakan masyarakat Papua.
Kita masih ingat cerita
dari buku biografi Pahlawan Nasional Johanes Abraham (J.A) Dimara, juga dikutip
"Papua Review" tahun 2013 halaman 53 terdapa dialog dengan Bung
Karno. Suatu hari Bung Karno bertanya kepada Dimara soal rasa kebangsaannya.
Bung Karno: " Dari
mana anak tahu bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke ? "J.A. Dimara:
" Bapak, saya cuma pikir, orang di Irian (sekarang Papua) makan pinang, di
Ambon makan pinang, di Jawa juga makan pinang. Jadi sebenarnya sama saja, kita
sama-sama orang Indonesia. "
Jawaban sederhana itu
membuat Bung Karno tertegun dan mengangguk setuju. Terakhir saya bertanya
kepada mantan anggota DPR RI dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI, Drs.
Ahmad Zacky Siradj. Ia menjawab bahwa pujangga yang arif bijaksana seperti Raja
Ali Haji dan banyak lagi, dulu pada zamannya mereka banyak memberi nasehat,
semangat, merawat etika masyarakat, pencerahan kehidupan.
Itu semua, ujar Zacky,
melalui puisi, pantun, dan rangkaian cerita hikmah. Sekarang mungkin bukan
zamannya, akan tetapi nenghidupkan kembali khazabah para pujangga tentu tidak
ada salahnya.
0 Komentar