Film The Lion King Emosinya Kuat, Tapi Mulut Kritikusnya Tak Kalah Kuat

film The Lion King siap menghiasi layar bioskop (Foto:dok)

Jakarta, KORANTRANSAKSI.Com – Sulit membayangkan Film The Lion King di rilis dalam versi live action. Hewan-hewan yang berbicara tampil di layar dengan bentuk sangat nyata.

Akankah ini mampu membuat kisah The Lion King jauh lebih hidup ketimbang versi animasinya? Selain itu, akankah emosinya kuat dan unsur nostalgianya lebih indah? Pertanyaan lain untuk The Lion King, adakah yang lebih kuat dari lagu legendaris “Can You Feel The Love Tonight”?

Wajar jika unsur lagu The Lion King dipertanyakan. Ini berkaca pada pengalaman live action Beauty and the Beast yang gagal menghadirkan lagu tema abadi. Lagu tema live action Beauty and the Beast, “How Does a Moment Last Forever” melempem di pasar.

Padahal, dinyanyikan Celine Dion, orang yang sama yang melantunkan lagu peraih Oscar “Beauty and The Beast.” Sementara aransemen baru “Beauty and the Beast” versi John Legend dan Ariana Grande tak mampu melampaui versi duet maut Peabo Bryson-Celine Dion.

Kisah The Lion King 2019 kurang lebih sama dengan versi klasiknya yang dirilis pada 1994. Singa jantan bernama Scar (Chiwetel Ejiofor) menolak menghadiri upacara perkenalan Simba (Donald Glover) di singgasana Pride Land. Padahal, Simba putra kakaknya sendiri, Raja Mufasa (James Earl Jones) dan permaisuri Sarabi (Alfre Woodard). Absennya Scar dipertanyakan Mufasa. Kepada Mufasa, Scar mengaku kecewa karena langkahnya menuju tahta Pride Land kandas gara-gara Simba lahir.

Suatu hari, Scar memberi tahu Simba ada Kuburan Gajah yang selama ini disembunyikan Mufasa darinya. Simba yang penasaran mengajak Nala (Beyonce) mengunjungi Kuburan Gajah.

Kawasan itu rupanya dihuni para Hyena yang dipimpin Shenzi (Florence Kasumba). Diam-diam, Scar dan para Hyena menyusun rencana menggulingkan Mufasa. Rencana berhasil, Simba yang terpukul disarankan Scar kabur sejauh mungkin dari Pride Land. Dalam pelarian, Simba bertemu Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen).

de Walt Disney mencitrakan kembali para tokoh The Lion King terbilang inovatif, berani, sekaligus berisiko. Pasalnya, penonton The Lion King 1994 tak hanya mengingat wajah para tokoh tapi juga menyimpan kenangan masa kecil di sana. Saat citra ulang dinilai kurang sesuai dengan animasinya dan emosi antar karakter tak sekuat kenangan masa kecil, di sanalah masalah muncul. The Lion King versi live action tampaknya membuyarkan sebagian kenangan manis itu.

Versi live action ini, secara keseluruhan, tampak sekadar menceritakan kembali dengan teknologi yang jauh lebih canggih. Digambarkan di atas layar bioskop 16:9, tidak benar-benar lebar. Kondisi ini diperparah dengan penggambaran kerajaan Pride Land yang kesannya di situ-situ saja. Citra rimba yang liar dan luas kurang tergambar sementara kawasan yang dihuni Pumbaa dan Timon seindah negeri dongeng. Patut disayangkan dan bisa jadi inilah yang membuat kritikus bersikap sinis.

Namun The Lion King versi live action tak sepenuhnya mengecewakan. Ada sejumlah momen yang mengetuk nurani dengan ikatan emosi sekuat versi aslinya. Salah satu yang menggetarkan, saat Simba bertemu leluhur Pride Land, Rafiki, setelah sekian lama pisah. Simba mempertanyakan siapa Rafiki. Pertanyaan itu dibalas pertanyaan baru, “Aku tahu siapa diriku, bagaimana denganmu. Siapa kamu?” Perang tanya itu bermuara pada kabar bahwa Mufasa masih hidup.

Simba yang bertahun-tahun dihantui rasa bersalah antusias mengejar Rafiki. Rafiki menuntun Simba ke sebuah perairan yang jernih. Untuk mengetahui keberadaan Mufasa, Simba diminta berkaca di air itu. Ia melihat wajahnya sendiri. “Ayahmu berada di dalam dirimu, Nak,” kata Rafiki. Sontak mata kami berkaca-kaca. Adegan dramatis ini dieksekusi dengan rapi, emosinya sekuat dulu sekaligus menjadi titik balik cerita. (TIM)

Posting Komentar

0 Komentar