Oknum Jasa Tirta II-Karawang Diduga “Ngobyek” Penggarap Jadi Korban

Kawasan Perum Jasa Tirta II.
Jakarta, Trans – Masyarakat diperbolehkan menggarap lahan daerah sempadan sungai yang dikelola Perum Jasa Tirta II untuk penghijauan dan garapan tanaman palawija. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri PU No.63/PRT/1993. Penggarap (penyewa lahan) yang berminat akan memperoleh Surat Izin Penggunaan Lahan Sementara (SIPLS). Namun didalam pemanfaatan tersebut para penggarap terkadang merasa dipermainkan oleh oknum-oknum yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Hal tersebut dialami oleh beberapa penggarap terkait kebijakan yang dinilai plin-plan.
Misalnya yang dialami penggarap bernama Sugianto Wahyudi, pemegang SIPLS No.21/DPA/1788/SIPLS/5/2011 dengan garapan seluas 1.067 M2 sejak 12 September 2011, dan beberapa SIPLS lainnya. Menurut Sugianto, selama 3 tahun belum pernah lakukan serah-terima SIPLS kepada siapapun dan selalu membayar sewa tepat waktu. Namun pada tahun 2014 ketika akan mengajukan perpanjangan ke Perum Jasa Tirta II, ternyata dengan surat No.12.4/DIR/04/2014, mendapat penolakan. Alasannya lahan tersebut akan digunakan sendiri oleh Perum Jasa Tirta II. Sampai tahun 2015 pihaknya tidak mendapat informasi apapun dari Perum Jasa Tirta II. Tapi pada bulan Maret 2016, muncul surat teguran, mengapa penggarap tidak membayar perpanjangan sewa. Surat itu ditandatangani oleh Arief Sugiharto, ST.
“Saya selaku pemegang SIPLS jadi bingung. Surat tanggal 7 Februari 2014 menyatakan izin tidak dapat diperpanjang, katanya lahan mau digunakan sendiri oleh PJT-II. Tetapi pada bulan Maret 2016, muncul surat teguran bahwa saya belum membayar sewa selama 4 tahun. Artinya mereka menagih. Bagaimana ini?” tutur Sugianto heran.
Menurut data yang diperoleh media ini, Sugianto salah satu dari 7 orang penggarap yang bernasib sama. Menurut Sugianto, Perum Jasa Tirta II telah lakukan keputusan sepihak. Dia minta surat No.12.4/DIR/63/2016 sebaiknya dicabut karena merugikan dirinya. “Lahan garapannya diduga dipindahtangankan. Tiba-tiba datang tagihan untuk 3 surat izin mencapai puluhan juta rupiah. Ternyata di atas lahan sudah bangunan warung atau toko yang dikelola kepala desa setempat,” tutur Sugianto Wahyudi kepada awak media.
Pada bulan Mei 2016 dia menghadap pengamat Bendung Walahar bernama Opie. Penjelasan yang bersangkutan membuat penggarap tambah bingung. Kata Opie kepada para penggarap, SIPLS mereka bermasalah dan dianggap punya tunggakan sewa sekitar Rp.97,6 juta selama kurun waktu 2014-2015.
Bulan berikutnya terjadi pertemuan di kantor Kepala Seksi Tarum yang dipimpin Arief Sugiharto. Pertemuan yang juga dihadiri Kepala Desa setempat tidak menghasilkan keputusan apapun. Kebingungan para penggarap itu menimbulkan dugaan adanya benturan kepentingan oknum-oknum di Perum Jasa Tirta II-Karawang, dan kurangnya kordinasi di antara mereka. Tidak heran dengan hadirnya kebijakan yang tumpang tindih, bukan tak mungkin terjadi dugaan penyalahgunaan wewenang dalam tata-kelola lahan-lahan Negara pengairan dibawah kendali Dinas Pekerjaan Umum itu. Yang jadi korban adalah masyarakat penggarap seperti salah satunya Sugianto Wahyudi dan penggarap lainnya. | od/07**

Posting Komentar

0 Komentar