KPK Dalami Izin Penerbitan Visa Saat ASN Ditjen Imigrasi diperiksa

 

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Budi Prasetyo saat memberikan keterangan pers di Gedung Merah Putih, Jakarta pada Rabu (30/7/2025)
Jakarta, KORANTRANSAKSI.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami izin penerbitan visa saat memeriksa aparatur sipil negara di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan sebagai saksi kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.

Hal itu disampaikan langsung oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih, Jakarta pada Rabu (30/7/2025). Ia menyampaikan bahwa, “Penyidik masih mendalami terkait dengan Izin Penerbitan Visa dan juga Izin Tinggal terhadap TKA”, ujar Budi.

Lebih lanjut Budi menjelaskan, pemeriksaan tersebut tersebut dilakukan terhadap ASN bernama Angga Prasetya Ali Saputra pada Rabu (30/7). ASN tersebut juga diketahui merupakan Kepala Seksi Pemeriksaan II Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Tempat Pemeriksaan Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Budi menjelaskan pemeriksaan terhadap ASN tersebut dilakukan karena KPK ingin mendalami alur atau proses seorang TKA bisa bekerja di Indonesia. “Ketika TKA ingin bekerja di Indonesia, tentu selain butuh RPTKA yang diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, juga membutuhkan visa dan izin tinggal,” jelasnya.

Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, KPK mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.

Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA. KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia. 

Apabila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.

Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024. KPK lantas menahan delapan tersangka tersebut. Kloter pertama untuk empat tersangka pada 17 Juli 2025, dan kloter kedua pada 24 Juli 2025. (TIM)


Posting Komentar

0 Komentar