Raja Ampat Dibabat Dengan Tambang Nikel?

Penampakan Tambang di Pulau Kawe (Foto:Greenpeace)
Jakarta, KORANTRANSAKSI.com - Raja Ampat. Jatung segitiga terumbu karang dunia dengan keanekaragaman hayati tertinggi di bumi. Di sinilah tambang nikel berdenyut, membabat hutan di pulau-pulau kecilnya. Persoalan lingkungan berkelindan dengan pariwisata; bertarung dengan kepentingan ekonomi.

Beberapa unit ruangan di lantai 19 gedung Equity Tower, Sudirman Central Business District (SCBD) Jakarta Selatan, kini terlihat sepi. Unit-unit yang kosong di lot E hingga H itu sebelumnya dipakai PT Anugerah Surya Pratama (ASP) sebagai kantornya.

Saat Tim KORANTRANSAKSI.com mencoba untuk mengunjungi ke Equity Tower, Jumat (13/6), resepsionis gedung membenarkan PT ASP sempat menempati unit-unit tersebut. Mereka berkantor di kawasan bisnis terpadu itu sekitar lima tahun. Namun, kini tidak lagi. Petugas gedung menyebut PT ASP pindah sebulan lalu. Ia tak tahu di mana kantor baru mereka.

Pindahnya PT ASP dari Equity Tower sesuai dengan informasi yang ditampilkan pengelola gedung di situsnya. Tak ada nama PT ASP dalam daftar penyewa di lantai 19. Tiga dari empat unit di lantai itu yang dulu ditempati ASP kini berstatus disewakan.

Di Jakarta, keberadaan kantor PT ASP seakan menghilang. Namun di sebuah pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, jejak PT ASP terlihat jelas. Mereka menambang di Pulau Manuran.

Sebelumnya, PT ASP merupakan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Pulau Manuran yang luasnya hanya 751 hektare. Pulau itu bahkan tak lebih besar dari Kecamatan Gambir di Jakarta Pusat, yang luasnya sekitar 759 ha. Walau pulaunya kecil, luas izin konsesi yang diberikan ke PT ASP hampir dua kali lipatnya, yakni 1.173 ha.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia saat bersama dengan Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu memantau Tambang Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat (Foto:Humas Kementerian ESDM)
Bahkan, menurut Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, “Ada potensi pencemaran lingkungan yang agak serius di Pulau Manuran,” sampai-sampai kementeriannya bakal menuntut PT ASP pidana maupun perdata.

Organisasi pemerhati lingkungan Greenpeace Indonesia menyebut, dari total luas Pulau Manuran, sekitar 156 ha lahan telah dibabat untuk tambang. Artinya laju deforestasi di Manuran mencapai 21% dari luas pulau. “Manuran ini salah satu pulau yang sudah hancur duluan,” ujar Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, di Jakarta, Kamis (12/6).

Kondisi itu tak hanya terjadi di Manuran. Ada lima pulau lain yang dirambah perusahaan tambang, yakni Pulau Gag, Pulau Kawe, Pulau Manyaifun, Pulau Batang Pele, dan Pulau Waiego. Kelima pulau itu ditambang oleh empat perusahaan, yakni PT Gag Nikel yang memiliki izin konsesi 13.126 ha di Pulau Gag yang luasnya 6.040 ha; PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) yang mengantongi izin konsesi 5.922 ha di Pulau Kawei yang luasnya 4.561 ha.

Terumbu Kerang di Raja Ampat (Foto:Greenpeace)
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) yang punya izin konsesi 2.193 ha di Pulau Manyaifun dan Batang Pele yang luasnya 1.373 ha; serta PT Nurham yang memegang izin konsesi 3.000 ha di Pulau Waiego—satu dari empat pulau besar di Raja Ampat—yang luasnya 315.500 ha.

Greenpeace Indonesia menghitung luas hutan yang dibabat untuk tambang nikel di Pulau Gag mencapai 309 ha dan di Pulau Kawe seluas 85 ha. Namun Kementerian ESDM menyebut bukaan lahan PT Gag baru seluas 187,87 ha berikut lahan reklamasi 136,72 ha.

Sementara di Pulau Manyaifun dan Batang Pele belum terlihat pembukaan lahan untuk tambang walau mulai muncul aktivitas pengeboran di 10 titik. Begitu pula di lahan konsesi PT Nurham di Pulau Waiego belum tampak aktivitas pembukaan lahan.

Penambangan nikel di pulau-pulau di Raja Ampat itulah yang kemudian menjadi sorotan dan memicu protes publik, sebab Raja Ampat merupakan destinasi wisata alam populer—bukan cuma di Indonesia, tapi di dunia—yang punya julukan istimewa: surga terakhir di bumi.

Tambang di Surga Terumbu Karang

Raja Ampat berada di jantung segitiga terumbu karang dunia, dan merupakan salah satu lokasi keanekaragaman hayati laut tertinggi di bumi. Ia menjadi rumah bagi lebih dari 1.600 spesies ikan, 75% spesies karang dunia, 17 spesies mamalia laut, dan 6 dari 7 jenis penyu yang terancam punah.

Semua itu membuat Raja Ampat pada Mei 2023 mendapat status Global Geopark dari UNESCO setelah sebelumnya ditetapkan sebagai geopark nasional oleh pemerintah Indonesia pada 2017. Artinya, Raja Ampat memiliki keanekaragaman geologi dan hayati yang tinggi dan perlu dilindungi.

Gelombang protes terhadap tambang-tambang di Raja Ampat akhirnya sampai ke telinga Presiden Prabowo Subianto. Senin sore (9/6), ia memanggil beberapa menteri ke kediamannya di Hambalang, Bogor. Menteri-menteri yang hadir antara lain Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol.

Rapat terbatas yang membahas tambang di Raja Ampat itu berlangsung sekitar tiga jam. Selepas magrib, para menteri keluar dari kediaman Prabowo. Dalam ratas itu, Prabowo mencabut Izin Usaha Pertambangan empat perusahaan. Hanya PT Gag Nikel—anak usaha PT ANTAM—yang tidak.

Pencabutan itu kemudian diumumkan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/6). Bahlil menyatakan 4 IUP dicabut karena lokasinya berada di kawasan geopark dan melanggar lingkungan. Sementara Pulau Gag berada di luar geopark, dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Gag Nikel untuk memproduksi nikel sebanyak 3 juta wet metric tons (WMT) tahun ini, 2025, telah disetujui.

“Walaupun PT Gag tidak dicabut, tetapi atas perintah Bapak Presiden, kami mengawasi khusus dalam implementasinya. Jadi Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)-nya harus ketat, reklamasinya harus ketat; tidak boleh merusak terumbu karang,” ucap Bahlil, Selasa (10/6).

Suasana di Raja Ampat (Foto:Greenpeace)
Menteri Hanif menyatakan, dari hasil pengawasan pada akhir Mei 2025, tim KLH menemukan pelanggaran lingkungan di tiga perusahaan: PT KSM, PT MRP, dan PT ASP. Sementara PT Nurham belum memulai aktivitas.

Menurut Hanif, aktivitas tambang perusahaan-perusahaan itu secara umum melanggar UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) yang telah berlaku sejak 2007.

Pasal 35 huruf k UU PWP3K melarang penambangan mineral di pulau kecil yang luasnya di bawah 2.000 km² atau 200 ribu ha. Mereka yang melanggar pasal itu bisa dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda Rp 10 miliar. Larangan itu juga telah ditegaskan lewat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-XXI/2023.

Hanif menjelaskan, secara rinci, pelanggaran PT KSM adalah perambahan lahan di luar Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) seluas 5 ha; PT MRP melakukan eksplorasi dengan mesin bor di 10 titik kawasan hutan tanpa izin PPKH; dan yang terparah adalah PT ASP yang menambang di Pulau Manuran tanpa sistem manajemen lingkungan maupun pengelolaan air limbah.

Tim pengawas KLH pun menemukan kolam pengendapan limbah (settling pond) yang jebol hingga mengakibatkan sedimentasi atau kekeruhan yang tinggi di pesisir Pulau Manuran. “Settling pond itu tampungan limbah. [Di situ] ada sedimen macam-macam. Kalau lepas (jebol), ekosistem di perairan dekat pantainya mesti terdampak,” kata Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM Prof. Djati Mardiatno.

KLH juga mencatat PT ASP memiliki IUP seluas 9.500 ha di Pulau Waegeo yang sebagiannya masuk kawasan Cagar Alam Waigeo Timur. Karenanya Hanif akan meminta Bupati Raja Ampat, Orideko Iriano Burdam, untuk meninjau ulang persetujuan lingkungan PT ASP.

Masyarakat di Pulau Kawe (Foto:Greenpeace)
Pulau Gag Harusnya Juga Tak Ditambang

Penambangan di Pulau Gag oleh PT Gag Nikel disebut Menteri Hanif relatif memenuhi kaidah lingkungan. “Artinya tingkat pencemaran yang tampak oleh mata itu hampir tidak terlalu serius,” ucapnya.

Di sisi lain, seperti disebut Bahlil, Pulau Gag berada di luar geopark. Namun, menurut Ketua Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI) Prof. Prabang Setyono, sifat zat pencemar tidak mengenal batas wilayah sehingga jarak antara Pulau Gag dengan kawasan geopark yang relatif jauh (sekitar 40 km) bukan berarti tak saling terkait. Prabang mencontohkan kebakaran hutan di Riau bisa terbawa sampai Singapura dan Malaysia. Jadi, sekalipun jaraknya 40 km, jika terbawa oleh air dan udara, pencemaran akan meluas dan masif.

“Sifat pencemar itu akumulatif. Ketika dalam satu bulan [tingkat pencemaran] yang dihasilkan berapa ribu kubik, mungkin daya jelajahnya baru ring satu. Tapi ketika terakumulasi di tahun kedua semakin banyak, mungkin sudah bergeser ke ring dua atau 20 km, lalu ke ring tiga sudah 30 kilometer, dst,” kata Prabang.

Untuk memastikan apakah jarak berpengaruh atau tidak terhadap potensi pencemaran di kawasan geopark, Prof. Djati menyatakan perlu melihat dulu pola arus laut di sekitar area tambang. “Walaupun jaraknya cuma 10 km, tapi kalau pola arusnya tidak mengarah ke kawasan Geopark Raja Ampat, itu enggak masalah,” ucap Djati.

Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, mengatakan berdasarkan temuan organisasinya, sudah terlihat sedimentasi efek tambang di Pulau Gag. Begitu pula di Pulau Manuran dan Pulau Kawe di mana air di pesisirnya berwarna coklat, dan itu berdampak buruk bagi terumbu karang.

“Selain dari aliran air dan sedimentasi yang merusak terumbu karang, kami juga menyaksikan tongkang-tongkang yang membawa nikel dari Raja Ampat ke Weda (Maluku Utara). Tongkang-tongkang ini juga berpotensi merusak terumbu karang karena wilayah Raja Ampat ini perairan dangkal,” kata Kiki.

Ia berpendapat seharusnya izin tambang PT Gag Nikel ikut dicabut. Terlebih UU PWP3K jelas-jelas melarang tambang di pulau kecil. Selain itu, Pulau Gag masih satu ekosistem dengan gugusan pulau di Raja Ampat walau tak masuk geopark.

“Cepat atau lambat, kerusakan di Pulau Gag akan memengaruhi ekosistem lain di Raja Ampat,” ucap Kiki.

Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP Ahmad Aris menyatakan, pulau-pulau di Raja Ampat yang ditambang bukan hanya masuk kategori kecil, tapi sangat kecil (tiny island) menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Pulau yang masuk kategori tersebut luasnya tak lebih dari 10 ribu ha dan dilarang ditambang. Pulau jenis ini dulunya terbentuk dari laut. Alhasil ketika ditambang, bakal berefek buruk ke laut.

Prof. Prabang menambahkan, pulau-pulau kecil sangat rawan jika ditambang. Tingkat pemulihannya sangat lama, dan kerusakannya bisa permanen. Apalagi jika terdapat sedimentasi mineral atau logam berat dari nikel yang terbawa hingga pesisir—seperti temuan di Pulau Manuran.

Sedimentasi itu pasti mencemari terumbu karang dan merusak ekosistem. Sebab mayoritas terumbu karang hidup bergantung dengan alga mikroskopis (zooxanthellae) untuk fotosintesis dan menyediakan makanan. Jika air laut keruh atau tertutup sedimen, sinar matahari tidak dapat mencapai zooxanthellae dan karang kehilangan sumber makanan.

“Dalam ekosistem, terumbu karang [berfungsi] sebagai tempat hidup ikan. Maka ketika terumbu karang rusak, ikan-ikan akan menjauh dari situ. Padahal destinasi wisata yang paling menarik ya terumbu karang,” ucap Prabang.

Kepala Teknik Tambang PT Kawei Sejahterah Mining, Suharta 
Kilau Nikel Raja Ampat Selalu Jadi Incaran

UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil boleh saja melarang tambang di pulau-pulau kecil, namun Kementerian ESDM memasukkan Raja Ampat sebagai daerah dengan potensi nikel yang besar.

Berdasarkan data Geological Resources of Indonesia Multiplatform Application (Georima) Kementerian ESDM, selain pulau-pulau Raja Ampat yang pernah diizinkan ditambang, daerah yang berpotensi ditambang ialah Waimisi dengan potensi bijih nikel terukur 9,6 juta ton; timur dan barat Fofak dengan potensi terukur 8,2 juta ton bijih nikel; Sarenbon dengan potensi terukur 20,7 juta ton bijih nikel; dan Yambeka dengan potensi tertunjuk 3,7 juta ton bijih nikel.

Secara keseluruhan, menurut data Georima ESDM pada 2022, potensi sumber daya bijih nikel di Raja Ampat mencapai 482 juta ton dan potensi cadangan bijih nikel 86 juta ton. Sedangkan secara keseluruhan di Papua, Kementerian ESDM menyebut potensi cadangan nikelnya mencapai 0,06 miliar ton dengan 98% di antaranya belum ditambang.

Prof. Prabang mengingatkan, meski cadangan nikel di Raja Ampat cukup besar, pemerintah dan investor perlu mempertimbangkan nilai sosial dan dampak ekologinya, seperti apakah penambangan bakal berpengaruh terhadap kondisi terumbu karang maupun habitat hewan-hewan di sana, serta bagaimana efeknya terhadap masyarakat adat.

“Jangan berpikir hanya soal ekonomi. Kalau karena ‘Di situ disurvei nikelnya banyak,’ apa di daerah lain nggak ada? Apa hanya di situ saja yang ada nikelnya?” ujar Prabang.

Gunung BuffelHoom di Kawasan Cagar Alam Waigeo Timur (Foto:BBKSDA Papua Barat)
Tambang vs Pariwisata Bikin Warga Terbelah

Tambang nikel bikin warga Raja Ampat terbelah. Ada yang menolak demi kelestarian lingkungan; ada yang mendukung karena faktor ekonomi. Saat Bahlil bertandang ke Raja Ampat, misalnya, ia menghadapi unjuk rasa dari masyarakat yang menolak maupun mendukung tambang.

Pertentangan di antara penduduk lokal soal penambangan di Raja Ampat ini juga terekam oleh KPK. Kepala Satgas Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi Wilayah V KPK Dian Patria menjelaskan, sebagian warga yang selama ini tidak mendapat manfaat langsung dari sektor pariwisata Raja Ampat yang mendunia kemudian mendukung tambang yang mengalirkan pendapatan bagi mereka. “Kelihatannya uang [dari sektor pariwisata Raja Ampat] tidak mengalir ke masyarakat… Jadi negara harus hadir, dan itu tentunya perlu peran pemda, gubernur, dan bupati,” kata Dian.

Ia menyinggung besarnya pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari pariwisata Raja Ampat. Turis asing saja dikenai tarif masuk Rp 700 ribu. Maka, bila jumlah wisatawan per tahunnya puluhan ribu, ada puluhan miliar rupiah yang masuk ke kas pemda. Warga tak pelak menginginkan bagian.

Mereka yang tidak puas ini kemudian mendapatkan keuntungan ketika perusahaan tambang masuk. Berdasarkan informasi yang diterima Dian, di pulau yang menjadi lokasi tambang seperti Pulau Batang Pele, setiap keluarga bisa mendapat Rp 5 juta per bulan.

Penduduk yang mendukung tambang juga terlihat berunjuk rasa di Pulau Kawe. Di sana, beberapa warga seperti Martince Daat, Ani Kolano, dan Yenny Ayei mengatakan bahwa mereka mendapat uang bulanan dari PT KSM senilai Rp 20 juta. Uang sebanyak itu, tegas mereka, cukup dan layak untuk hidup.

Selain itu, mereka mengatakan PT KSM juga membantu biaya sekolah anak-anak; juga membeli sayur dan ikan tangkapan warga. Semua itu membuat masyarakat setempat merasa terbantu dari sisi ekonomi. Yenny menambahkan, perusahaan juga merekrut warga sebagai pegawai sehingga mendatangkan keuntungan langsung bagi mereka.

“Masyarakat di kampung ini banyak kerja di perusahaan tambang di Pulau Kawe. Makanya kami masyarakat Kampung Selpele bersikap, kalau PT KSM tutup, kami tidak setuju. Pemerintah harus kembalikan izin perusahaan, jangan dicabut,” ujar Yenny di Pulau Kawe, Sabtu (14/6).

Kepala Teknik Tambang PT KSM Suharta mengatakan, tenaga kerja perusahaannya sekitar 80% merupakan penduduk lokal. Ia juga menyebut perusahaannya telah merealisasikan dana pemberdayaan masyarakat senilai Rp 700 juta dalam setahun terakhir.

“Kami selaku pemilik tambang memberikan kontribusi yang sangat besar kepada masyarakat Kawe. Dan mereka (warga) juga sering berbicara pada kami bahwa wisata tidak begitu [berdampak] signifikan terhadap mereka,” ucap Suharta.

Ia menegaskan, PT KSM telah memiliki Amdal, RKAB, dan IUP yang terbit pada 2013—sebelum Raja Ampat ditetapkan sebagai geopark. Dari Amdal itu, Suharta meyakini efek tambang PT KSM tidak akan sampai ke Pulau Wayag yang berjarak 40–50 km dari Kawe. “Di depan [pulau] itu sudah palung, dalam. Jadi endapannya mungkin juga larut ke dalam, tidak berenang sampai ke Wayag,” klaim Suharta.

Ia kecewa karena pemerintah mencabut IUP PT KSM yang memiliki izin produksi hingga tahun 2033. PT KSM pun baru menambang di satu blok dari total 10 blok yang direncanakan. “Mungkin secara hukum kami akan ajukan [gugatan] karena kami tidak terima [diperlakukan] seperti itu,” kata Suharta.

Prabang menilai keuntungan ekonomi yang diterima masyarakat dari sektor tambang di pulau-pulau itu semu belaka, sebab wilayah yang ditambang suatu saat pasti akan habis. Hal itu berbeda dengan keuntungan ekonomi dari sisi pariwisata yang menurutnya jangka waktunya jauh lebih lama.

“Ketika [pulau] habis, masyarakat yang sudah terbiasa dengan ekonomi tambang akan bingung karena ini tidak sustainable. Tapi kalau ekowisata, jelas sustain selama pulaunya ada, unlimited time. Masyarakat bisa mengembangkan dari punya dua perahu jadi empat perahu [untuk angkut turis],” kata Prabang.

Evaluasi Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil

Keberadaan pulau-pulau kecil sedianya telah dilindungi dalam UU PWP3K sejak 2007. Tetapi kenyataannya, merujuk data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), terdapat 218 IUP yang mengkavling 34 pulau kecil di Indonesia hingga Desember 2023. Total luas konsesi dari seluruh IUP itu mencapai 274 ribu hektare.

Ahmad Aris mengakui regulasi yang melindungi pulau-pulau kecil sejauh ini belum terharmonisasi dengan baik, khususnya di UU Minerba. Ia mencontohkan di UU Cipta Kerja, tahapan proses perizinan dimulai dari perizinan dasar seperti rekomendasi KKP, lalu Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), izin Lingkungan, dan akhirnya adalah izin usaha.

“Tetapi di UU Minerba justru kebalik. Yang keluar dulu adalah izin usahanya, IUP-nya, baru menyusul yang lain. Jadi ini memang ke depan perlu harmonisasi UU,” kata Aris.

Tak cuma itu, lanjut Aris, UU Minerba juga tidak mensyaratkan rekomendasi KKP dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil. Sehingga hingga kini terus bermunculkan IUP penambangan di pulau-pulau kecil. Kepala PSLH UGM, Djati Mardiatno, berpendapat dengan banyaknya pro-kontra, sebaiknya pemerintah menghentikan sementara IUP di pulau-pulau kecil, sembari dicek kembali Amdal seluruh perusahaan itu.

“Setelah itu baru nanti diputuskan apakah lanjut atau tidak. Dan itu harus segera diputuskan, karena bisnis perlu kepastian hukum. Aktivitas kegiatan usaha tambang ini juga ada efeknya terhadap penghidupan orang banyak,” kata Djati.

Sementara itu Prabang menilai pemerintah perlu melakukan audit forensik terhadap seluruh izin tambang di pulau kecil secara objektif, independen, dan transparan. “Jangan dianggap bahwa ‘sudahlah ini kita lupakan saja, kita berpikir ke tempat lain’. Padahal lingkungan rusak tidak bisa dilupakan, dia hanya bisa dirasakan dan masyarakat di situ yang akan merasakan,” tutupnya. (TIM)

 





 

Posting Komentar

0 Komentar