![]() |
(Foto:Humas Kementerian Pariwisata Republik Indonesia) |
Hal ini disampaikan
langsung oleh Wamenpar Ni Luh Puspa menanggapi kejadian pungli yang dialami
oleh Youtuber Jajago Keliling Indonesia di kawasan Jalan Poros Tengah
Ratenggaro menuju Tambolaka dan Pantai Ratenggaro, Kampung Adat Ratenggaro
(KAR), Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, beberapa waktu lalu.
Provinsi NTT, salah
satu destinasi prioritas nasional, mencatat sebanyak 1,5 juta wisatawan
mengunjungi provinsi berbasis kepulauan ini pada tahun 2024.
"Saya rasa menjadi tugas kita bersama untuk bisa menciptakan destinasi
yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Saya rasa kita semua punya komitmen yang sama,
punya perasaan yang sama bahwa praktik-praktik seperti ini (pungli) tidak boleh
terjadi," ujar Wamenpar Ni Luh Puspa.
Wamenpar mengapresiasi
respons cepat Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya dan Pemerintah Provinsi
NTT. Pada 20 Mei 2025, Pemkab telah menggelar pertemuan dengan Polsek Kodi
Bangedo, Danramil Kodi, kepala desa, dan tokoh masyarakat Kampung Adat
Ratenggaro.
Dalam pertemuan itu, masyarakat dan penghuni Kampung Adat Ratenggaro menyadari perbuatan oknum yang melakukan pungli kepada wisatawan adalah perbuatan memalukan dan melanggar aturan. Masyarakat dan penghuni Kampung Adat Ratenggaro juga memahami akibat viralnya video pungli tersebut telah mencoreng nama baik Kabupaten Sumba Barat Daya juga Provinsi Nusa Tenggara Timur yang bisa berdampak pada menurunnya kunjungan wisatawan.
"Yang terjadi di
Pantai Ratenggaro ini sudah menjadi perhatian di tengah begitu pesatnya
perkembangan sektor pariwisata di NTT. Apa yang sudah dibangun selama ini di
NTT, kami harapkan bisa terus berlanjut secara berkelanjutan. Dan ini tidak
bisa dilakukan kalau hal-hal seperti pungli, masalah keamanan dan kenyamanan
masih menjadi isu yang dibicarakan para turis," ujar Ni Luh Puspa.
Pemerintah mendukung sepenuhnya langkah pemerintah daerah juga aparat hukum untuk melakukan pembinaan juga penindakan tegas terhadap pelaku agar hal-hal seperti ini tidak terulang lagi ke depan. "Pendekatan yang perlu dilakukan tentu saja perlu bersifat preventif dan edukatif, khususnya pada anak-anak dan masyarakat yang ada di sana," kata Wamenpar.
![]() |
(Foto:Humas Kementerian Pariwisata Republik Indonesia) |
Masyarakat secara
langsung perlu dilibatkan secara aktif dalam semua ekosistem pariwisata di desa
wisata dan destinasi pariwisata melalui skema pelatihan, pembinaan, serta
penguatan ekosistem pariwisata, terutama agar masyarakat bisa langsung
mendapatkan peluang usaha dari berkembangnya aktivitas pariwisata di suatu
destinasi.
Selain itu, Kemenpar
juga memandang pembekalan informasi kepada wisatawan mengenai nilai-nilai
kearifan lokal, tradisi dan kebiasaan setempat, termasuk kondisi sosial ekonomi
masyarakat di destinasi tidak kalah pentingnya untuk kenyamanan aktivitas
berwisata. Kemenpar akan memantau secara berkala termasuk berkoordinasi dengan
pemerintah daerah dalam pengelolaan destinasi dan desa wisata agar peristiwa
seperti ini tidak terulang kembali.
Kemenpar juga mengimbau
kepada wisatawan yang ingin memberikan bantuan pendidikan ataupun berupa uang,
agar tidak memberikan langsung disampaikan kepada anak-anak di lokasi destinasi
yang dikunjungi, namun dilakukan melalui koordinasi dengan lembaga desa, komunitas,
atau pemerintah daerah agar penyaluran bantuan bisa terkoordinir dan
tersalurkan dengan baik.
"Ini harus jadi
titik balik bagi pariwisata di Sumba dan NTT untuk menciptakan pariwisata
berkualitas yang tertib dan inklusif. Kita harus berkolaborasi bersama, kami
mendukung penguatan SDM lokal melalui pelatihan digital, pemasaran destinasi,
dan manajemen destinasi berbasis komunitas," ujar Wamenpar Ni Luh
Puspa.
Bupati Sumba Barat
Daya, Ratu Ngadu Bonu Wulla, dalam kesempatan yang sama kembali menyampaikan
permohonan maaf atas nama Pemerintah Kabupaten dan masyarakat Sumba Barat Daya
atas peristiwa yang terjadi di Ratenggaro.
"Kami berkomitmen
hal ini tidak terjadi lagi agar pengembangan pariwisata di Sumba Barat Daya
semakin baik," ujar Bupati Ratu Ngadu Wulla.
Ia mengungkapkan, dalam
pertemuan yang berlangsung pada 20 Mei 2025, masyarakat mengakui dan menyadari
bahwa perbuatan oknum yang meminta uang secara ilegal kepada wisatawan adalah
perbuatan memalukan dan melanggar aturan.
Masyarakat dan penghuni
Kampung Adat Ratenggaro meminta pemerintah terus memberikan pelatihan,
pendampingan, dan pembinaan dalam menjamu wisatawan dan pengelolaan objek
wisata Ratenggaro. Masyarakat dan penghuni Kampung Adat Ratenggaro juga sepakat
untuk menyelesaikan masalah internal dalam pengelolaan destinasi wisata.
Pertemuan juga
menyepakati untuk dibuatnya papan informasi di depan pos masuk dan di dalam
Kampung Adat Ratenggaro tentang ketentuan aktivitas wisata. Seperti daftar
tarif masuk, tarif menunggang kuda, tarif foto, dan kegiatan lainnya sesuai
peraturan desa. Dalam hal keamanan dan kenyamanan ke depannya juga akan
melibatkan pihak kepolisian, TNI dan Satpol PP, serta beberapa kesepakatan
lainnya.
"Pada 23 Mei 2025,
Bupati bersama Forkopimda dan Kapolres, Kajari, akan turun lagi untuk bertemu
dengan masyarakat dan penghuni Kampung Adat Ratenggaro, sehingga apa yang sudah
jadi kesepakatan dan peraturan bisa dijalankan. Kami juga akan membenahi
fasilitas yang kurang di kampung Ratenggaro sehingga bisa menciptakan
kenyamanan bagi penghuni dan pengunjung yang datang ke Ratenggaro,"
ujarnya.
Turut hadir dalam
pertemuan tersebut, Sekda Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kosmas Damianus
Lana; Kepala Disparekraf NTT, Noldy Hosea Pellokila; serta perwakilan dari
pemangku kepentingan pariwisata lainnya di Provinsi NTT dan Kabupaten Sumba
Barat Daya.
Hadir mendampingi
Wamenpar Ni Luh Puspa, Staf Ahli Bidang Manajemen Krisis Kemenpar, Fadjar
Hutomo; Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenpar,
Hariyanto; serta Direktur Pemasaran Pariwisata Nusantara Kemenpar, Dwi Marhen
Yono. (TIM/RED)
0 Komentar