Kantor Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) |
Ketua Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam, mengatakan pihaknya langsung melakukan investigasi dan menggelar pertemuan terkait temuan ini. Pertemuan itu digelar Kantor MUI pada Senin (30/9) sore. Niam mengatakan setelah dilakukan pendalaman bahwa informasi tersebut valid. Produk-produk tersebut tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur Self Declare, tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.
"Penetapan Halal
tersebut menyalahi Standar Fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI.
Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap
produk-produk tersebut," kata Niam dalam keterangannya, Selasa (1/10).
Lebih lanjut, Niam
menegaskan pihaknya akan segera berkoordinasi dengan BPJPH untuk mencari jalan
keluar terbaik agar kasus serupa tidak terulang. Dalam rapat itu, diperoleh
bahwa kejadian itu valid, bukti-buktinya jelas terpampang dalam website BPJPH,
dan diarsipkan oleh pelapor. Namun, belakangan nama-nama produk tersebut tidak
muncul lagi di aplikasi BPJPH.
Ia menyatakan, sesuai
dengan ketentuan dalam sertifikasi halal, penetapan kehalalan produk harus
mengacu pada standar halal yang ditetapkan oleh MUI. “Sementara penerbitan Sertifikat Halal
terhadap produk-produk tersebut, tidak melalui MUI dan menyalahi fatwa MUI
tentang standar halal," ujarnya.
Berdasarkan Fatwa MUI
Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan
nama dan bahan. Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol
makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
"Sesuai dengan
pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan
nama yang terasosasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma,
hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai
jenis minuman yang dapat memabukkan," jelasnya.
Selain itu, dalam
ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan
kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, produk halal tidak boleh
menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada
nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol.
Kecuali, produk tersebut termasuk dalam produk tradisi ('urf) dan sudah
dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi,
bakpia, bakpao.
Atas dasar itu,
Pengasuh Pesantren Al-Nahdlah ini mengimbau agar semua pihak yang berperan
dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare harus
berhati-hati dan lebih teliti, serta memperhatikan titik-titik kritis dalam
proses penetapan halal. Niam juga menegaskan akan segera berkoordinasi dengan BPJPH
agar kasus-kasus serupa tidak terulang.
“MUI akan koordinasi
dan konsolidasi dengan BPJPH untuk mencegah kasus serupa terulang. Jangan
sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya
penjaminan produk halal. Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita.
Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai hanya mengejar
target kuantitatif jadinya yang keluar adalah halal-halalan," tuturnya. (OD)
0 Komentar