Soal BLBI, KPK Diminta Teliti Audit BPK

Gedung KPK.
Gedung KPK.
JAKARTA, KORANTRANSAKSI.com - Sehubungan kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang ikut dalam Perjanjian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) oleh KPK, konon ada fakta menarik. Audit BPK, tanggal 30 November 2006, BPK menyatakan proses pemberian SKL dianggap tidak ada masalah.
Karenanya, menanggapi hal itu, kalangan pengamat dan praktisi hukum berpendapat hasil audit BPK itu harus menjadi acuan bagi KPK. Alasannya BPK sebagai lembaga tinggi negara, yang bekerja berdasarkan amanat undang-udang secara resmi sudah mengatakan kebijakan pemberian SKL tidak bermasalah. Dalam pasal 23 ayat 1 dikatakan tugas BPK adalah untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Dan hasil pemeriksaan BPK dilaporkan dan ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan atau badan terkait sesuai undang-undang. Yaitu seperti aparat penegak hukum, Kejaksaan Agung, kepolisian dan KPK.
Seperti diketahui dalam laporannya, BPK menyatakan bahwa SKL itu layak diberikan kepada pemegang saham BDNI, lantaran pemegang saham dalam hal ini Sjamsul Nursalim telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA serta perubahan-perubahannya dan sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam hal ini instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002.
Audit BPK sendiri diadakan dalam rangka pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Pemeriksaan atas PKPS yang bertujuan untuk menilai kepatuhan pada peraturan, kebijakan pemerintah serta perjanjian yang telah disepakati, kewajaran jumlah kewajiban pemegang saham yang telah ditetapkan, efektivitas pengalihan dan pengelolaan aset eks pemegang saham pengendali dan penyelesaian akhir PKPS.
Dalam proses penegakan hukum sesuai dengan pasal 184, UU No 8 tahun 1981, tetang hukum acara pidana dikatakan bahwa, ada disebutkan bukti dokumen dan keterangan ahli. “Mengenai dokumen yang dimaksud salah satunya adalah dokumen resmi BPK, untuk mengungkap suatu perkara pidana,” ujar pengamat Alfons di Jakarta.
Kemudian di dalam UU Tipikor diatur secara limitatif siapa yang memiliki kewenangan audit, yang harus dipakai dalam menentukan kerugian Negara. Secara lugas TIpikor mengamanatkan lembaga pemeriksa keuangan dalam hal ini BPK adalah yang memiliki tugas untuk menentukan besaran kerugian negara, kata Alfons lagi.
Dokumen BPK mengungkapkan kasus pemberian, SKL seharunya menjadi alat utama dalam mengungkap kasus tersebut.. Sebab apabila dokumen BPK hanya sekedar jurnal dan tidak memiliki nilai hukum. Berarti tidak ada apa-apanya. Padahal BPK mengerjakan audit tersebut atas perintah Undang-Undang dan dibiayai oleh Negara. Dengan demikian dokumen hasil audit BPK, tidak terbantahkan dan harus dipakai.

Apabila ada dugaan misalnya dokumen itu tidak sah dan tidak valid maka harus ada review atau gugatan terhadap hasil audit tersebut. Jangan hanya didiamkan. Misalnya ada temuan baru terhadap obyek yang sama namun hasilnya berbeda, kita bisa mempertanyakan profesonalisme BPK. Namun jika tidak ada gugatan, maka apapun hasil audit BPK menjadi dokumen yang menjadi dasar pijakan bagi penyidik, untuk mengungkap sebuah kasus. (Odjie/pk)***

Posting Komentar

0 Komentar