Wartawan Diancam Mau Dibunuh Gara-gara Liput Sidang Pidana Pilkada

Aksi damai para jurnalis.
Aksi damai para jurnalis.
JAKARTA, KORANTRANSAKSI.com – Awak media yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengecam tindak kekerasan terhadap 3 wartawan televisi saat melakukan tugas jurnalistik di sidang pelanggaran pidana Pilkada Tolikara di Kantor Pengadilan Negeri Wamena, Jayawijaya, Papua, Jumat silam (28/4). Jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi tersebut adalah Richardo Hutahaean, Audi, dan Mesak.  
Dalam waktu dekat, menurut Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana, IJTI dan Satgas Anti-Kekerasan Dewan Pers akan melakukan advokasi dan penyelidikan atas tindakan yang dilakukan sejumlah oknum terhadap tugas jurnalis TV di Wamena, Papua,saat meliput sidang pelanggaran Pemilu KPU Kabupaten Tolikara. Menurutnya, ada dua kasus hukum yang terjadi dan menimpa para korban saat itu. Pengancaman dan penyekapan adalah delik umum yang legal standing-nya berada pada korban langsung, bukan pada perusahaan. Kedua, terkait penghalangan kerja sebagaimana diancam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Pers. Hal ini mengacu pada Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 yang legal standing-nya ada pada perusahaan pers.
"IJTI mengimbau terhadap semua pihak, agar menghormati profesi jurnalis yang pada dasarnya dilindungi undang-undang," ucap Yadi. Ia juga meminta kepolisian serius dan bersikap tegas menindak siapapun, baik masyarakat sipil maupun nonsipil, yang telah mengancam dan melakukan tindak kekerasan kepada para awak media yang menjalankan tugasnya. "Meminta aparat menjamin dan melindungi para jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya," tutur Yadi lagi.
Korban kekerasan, Richardo Hutahaean mengaku pengancaman dan penyekapan ini bermula saat dirinya bersama dua rekan jurnalis televisi lain melakukan peliputan sidang pelanggaran Pilkada Kabupaten Tolikara, di Pengdailan Negeri Wamena.  “Awalnya saat ke kami tiga jurnalis memasuki ruang sidang yang tidak dikawal 1 orang pun anggota polisi itu, kami sempat dilarang hakim ketua yang mempimpin sidang untuk mengambil gambar, dan menanyakan asal kami bertiga," ucapnya.
"Namun setelah kami menunjukan identitas ke hakim ketua lewat panitera, akhirnya kami diizinkan mengambil gambar secara leluasa, yang penting tidak mengganggu jalannya sidang.” tambah Richardo Kemudian dalam proses pengambilan gambar, massa yang duduk dalam ruang sidang sempat melarang ketiga jurnalis untuk mengambil gambar, tapi hakim ketua membela ketiga jurnalis tersebut karena keputusan ada di tangan ketua majelis hakim.
Ketika sidang diskors, panitera mengajak ketiga jurnalis ke dalam ruangan di sebelah kanan ruangan sidang. Lalu saat sidang dilanjutkan, ketiga korban duduk untuk mewawancarai pihak pengadilan, namun tiba-tiba terdapat 20 orang datang mengancam akan membunuh jika pewarta itu tidak menghapus gambar yang sudah diambil. “Bahkan kamera saya dirampas dan dihapus secara paksa. Mereka juga mengusir kami bertiga dari dalam ruang persidangan, sehingga kami bertiga harus mengamankan diri keluar area Pengadilan Megeri Wamena,” ungkap Richardo Hutahaean yang juga merupakan Ketua IJTI di Papua tersebut.
Wakil Ketua Bidang Advokasi IJTI Pusat, Chanry Suripatty mengatakan bahwa di era keterbukaan informasi publik seperti saat ini, masyarakat harus sadar dan paham pekerjaan jurnalistik, sehingga idak terjadi kekerasan terhadap tugas-tugas yang dijalankan awak media. "Saya mengecam keras aksi pengancaman, penyekapan, serta penghapusan data gambar video dari tiga jurnalis yang meliput sidang sengketa pemilukada di Wamena, karena cara seperti ini sangat menganggu kerja jurnalistik dan dapat terkena ancaman pidana sesuai UU Pers Nomor 40 Tahun 1999," ujar Chanry. (Odjie/Ok)***

Posting Komentar

0 Komentar