Masalah Palestina Semakin Sulit Setelah 14 Tahun Kepergian Yasser Arafat (Oleh: Dasman Djamaluddin)


Empat belas tahun yang lalu, tepatnya hari Kamis, 11 November 2004, Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina, sekaligus Presiden Palestina Yasser Arafat wafat. Pada waktu itu, Menteri Kabinet Palestina, Saeb Erekat di Ramalah mengumumkan Yasser Arafat wafat. Pengumuman yang sama dilakukan juru bicara Rumah Sakit Percy Chistian Estripaeu yang menyatakan Yasser Arafat wafat pada pukul 3.30 pagi waktu Prancis.

Sebelumnya pada 10 November 2004, delegasi Palestina diizinkan membesuk, tetapi hanya Perdana Menteri Ahmed Qureia yang masuk ruang Arafat. Qureia menangis. Menteri Luar Negeri Palestina Nabil Shaath mengumumkan kondisi Arafat yang masih hidup walaupun sakit parah.

Arafat yang dalam keadaan koma, waktu itu ditopang dengan alat bantu pernafasan dan suplai makanan. Peralatannya masih tetap ada di tempatnya, beliau juga dihubungi dengan peralatan monitoring. Yang jelas tidak ada gejala penyakit berbahaya atau kanker.

Keracunan, inilah gejala yang ditemukan di tubuh Yasser Arafat berusia 75 tahun itu. Ia selama tiga setengah tahun terakhi terkurung di sebuah kantor yang sangat sempit, yang punya sedikit sekali oksigen dengan kondisi dikepung tentara Israel. Tetapi ada yang berpendapat, ia diracun oleh Israel.

Pada waktu ini semua sumber berita bernada sama. Menggambarkan betapa sulitnya mendeklarasikan sebuah Negara Palestina Merdeka. Meski istilah seperti negara merdeka diterapkan Yasser Arafat secara "de facto." Ia sebagai Presiden Palestina. Ada menteri-menteri dan bahkan ada Duta Besar Palestina di hampir semua negara, termasuk di Indonesia. Tetapi secara hukum internasional, belum lagi secara "de jure " hingga hari ini.

Saya masih ingat pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja kepada wartawan di Kementerian Luar Negeri. Waktu Yasser Arafat bertemu Presiden Soeharto di Istana Negara, Menlu Mochtar Kusumaatmadja turut mendampingi. Mochtar mengatakan untuk diresmikannya sebuah Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, maka Yasser Arafat sedikit agak keras. Tangannya ada di sarung pistol kecilnya. Meski ini informasi rahasia, tetapi menurut saya,  perlu juga diungkap, agar bangsa Indonesia tahu, betapa seorang Yasser Arafat sangat keras dalam memperjuangkan masa depan bangsa Palestina agar bisa merdeka, baik secara "de facto," maupun "de jure."

Hal yang sama juga dikatakan Duta Besar Palestina di Jakarta waktu itu, Ribhi Y Awad ketika saya bertemu di Kedutaan Besar Palestina, Jakarta. Kegigihan Yasser Arafat dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina tidak diragukan. Ia minta doa agar bangsa Palestina suatu ketika bisa merdeka. Memang jika melihat perkembangan terakhir, harapan merdeka semakin jauh dari harapan. Tetapi jika Tuhan sudah berkehendak tidak mungkin ada yang mustahil.

Bangsa Palestina sudah lama menderita. Awalnya, penduduk bangsa Palestina, baik Muslim maupun Kristen memiliki tanah air yang sangat luas. Tetapi setelah Perang Dunia II, lebih-lebih setelah bangsa Yahudi mendirikan sebuah negara di wilayah Palestina yang disebut negara Israel tahun 1948, maka bangsa Yahudi semakin leluasa membunuh warga Palestina di Jalur Gaza. Apalagi dengan kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.

Terlepas dari itu semua, kita sebagai bangsa Indonesia bangga terhadap Presiden Indonesia dari Soekarno hingga Joko Widodo (Jokowi), yang tetap memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina. Berkali-kali Israel ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia selalu dijawab belum saatnya. Itu bisa terjadi jika bangsa Palestina telah mencapai cita-citanya, merdeka secara "de facto," dan "de jure."

Posting Komentar

0 Komentar