Masih Ada Politisasi Hukum Untuk Kasus Korupsi?

Ilustrasi.
Jakarta, Trans - Hari anti korupsi sedunia yang sering kita peringati dan rayakan, masih sebatas seremonial semu belaka. Sampai saat ini orang dengan lantang bisa menyatakan, “Hukum adalah segala-galanya, karena negara kita berlandaskan azaz hukum.” Jutaan rakyat yang tertindas, sambil terseok-seok dan terengah-engah, masih sempat berteriak, “Tegakkan hukum, sekalipun langit akan runtuh!”

Kini giliran para Hamba Hukum yang duduk di singgasana berbagai lembaga dan institusi hukum. Mereka juga dengan semangat akan mengatakan, “Kami akan melakukan langkah dan tindakan hukum kepada siapapun, dengan pangkat apapun, dengan jabatan apapun, tanpa pandang bulu!” Tekad mulia ini semakin memiliki kekuatan moral, manakala Presiden SBY sendiri sebagai panglima tertinggi di negara waktu itu, menyatakan tekadnya untuk memerangi korupsi, menegakkan hukum setuntas-tuntasnya, dan seterang-terangnya. Nah!

Namun kita belakangan ini agak terusik. Muncul semacam keraguan, apakah tekad dan janji-janji serta komitmen yang terucap itu benar-benar bisa dilaksanakan, atau hanya sekedar basa-basi politik belaka? Benarkah hukum itu menjadi panglima di negeri ini? Betulkah azaz hukum berlaku apa adanya, atau bisa di hitam-putihkan sesuai dengan keinginan dan selera para penguasa? Pertanyaan ini yang sudah lama muncul dan ada semacam keraguan untuk memberikan jawaban yang sejujur-jujurnya. Apalagi ada suara-suara sumbang yang menyatakan bahwa hukum sudah menjadi komoditas politik bagi sementara kalangan elite yang terlibat berbagai skandal pelanggaran hukum, khususnya tindak pidana korupsi.

Kisah terbaru, kita dipertontonkan oleh kenyataan bahwa telah terjadi diskriminasi tindakan hukum dan ada kesan tebang-pilih dalam menyeret para oknum pejabat berstatus koruptor dengan tameng perlindungan kekuatan partai politik. Padahal kemarin kita masih bingung, mengapa kasus skandal Bank Century yang jelas-jelas ada pelanggaran hukum yang dilakukan secara sengaja dan sistematis, pelan-pelan ingin dilupakan orang. Kini muncul berita, bahwa tangan kekuasaan bersama kekuatan partai politiknya bisa menghalang-halangi tangan hukum lakukan kewajibannya untuk menindak mereka.

Berawal dari kejutan yang diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahwa ada enam kepala daerah yang terlibat tindak pidana korupsi, namun mereka merasa aman dan nyaman gara-gara berstatus kader partai penguasa waktu itu, alias Partai Demokrat. Dalam acara jumpa pers, peneliti ICW Tama Setya Langkun menganggap hal itu sebagai sebuah trend, dimana ada pejabat daerah dari parpol lain, kemudian terkena kasus dan pindah ke Partai demokrat. Oknum pejabat daerah itu bukan saja tersendat proses penyidikan hukumnya. Tetapi juga masih bisa leluasa mencalonkan diri lagi ikut pemilukada di daerahnya.

Adanya kesan tebang-pilih dalam pemberantasan korupsi yang berlatarbelakang perbedaan kepentingan antara parpol satu dengan lainnya, muncul dalam contoh kasus kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Misbakhum, dan kader Partai Golkar, Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin yang kini meringkuk di Rutan Salemba. Sementara para pejabat daerah yang diketahui berstatus kader Partai Demokrat, kendati sudah menjadi tersangka, jangankan ditahan, diadili saja belum. Seperti sudah diduga, kalangan Partai Demokrat punya hak untuk membela diri, dan menampik tudingan sebagai partai pelindung koruptor, seperti dikatakan Wakil Ketua dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok.

Contoh kasus korupsi yang macet penanganannya lantaran mereka adalah kader partai penguasa, lihatlah Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin. Dia diduga korupsi dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan senilai Rp 23 miliar. Terhadap dirinya, izin pemeriksaan keluar bulan Desember 2008. Kasus terhambat di Kejaksaan Agung dan macet sampai sekarang. Agusrin semula diusung PKS dan PBR, kemudian loncat ke Partai Demokrat. Lihat juga Walikota Semarang Sukawi Sutarip. Dia terlibat dugaan penyimpangan APBD tahun 2004 pada pos dana komunikasi senilai Rp 5 Miliar. Kader yang berasal dari PDIP dan kemudian pindah ke Partai Demokrat itu, kasusnya ngambang gara-gara izin pemeriksaan dari presiden tidak turun-turun.

Adalah Walikota Bukittinggi, Djufri. Dia kader Partai Bulan Bintang (PBB) yang pindah ke Partai demokrat. Beliau terseret kasus pengadaan tanah untuk kantor DPRD dan pool kendaraan sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Iapun mendapat manfaat gara-gara pindah ke Partai Demokrat, ikut beruntung penanganan kasusnya ikut ngambang. Penyebabnya sama, ketua pembina partainya yang merangkap presiden tidak buru-buru mengeluarkan izin pemeriksaan.

Adapun kader-kader lainnya yang terlibat kasus korupsi, diantaranya Bupati Situbondo Ismunarso. Dia diduga terlibat kasus korupsi dana kas daerah sebesar Rp 45,7 Miliar. Kemudian Wakil Bupati Toraja Andrias Palino Popang, diduga terlibat korupsi APBD Tanah Toraja 2003-2004 senilai Rp 1,9 Miliar. Begitu pula terhadap Bupati Pamekasan Ahmad Syafii yang terkena kasus program listrik masuk desa dari APBD 2005 senilai Rp 2,6 Miliar. Berlanjut ke tahun anggaran 2006 senilai Rp 2,7 Miliar, dan APBD 2007 sebesar Rp 2,8 Miliar. Dia semula kader PPP, kemudian pindah ke Partai Demokrat.

Kesimpulan ICW lebih jauh, konsistensi dalam memberantas korupsi, masih sebatas pemanis bibir saja Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febri Diansyah, sekitar 76 persen pernyataan petinggi tentang pemberantasan korupsi, tidak terealisasi. Karenanya ICW minta agar aparat birokrat yang dari parpol bersikap lebih keras terhadap kader partainya yang terlibat kasus korupsi. Pihaknya juga minta agar merevisi aturan izin pemeriksaan presiden terhadap kepala daerah yang diduga korupsi. Karena izin tersebut rentan menjadi komoditas politik.

Seperti kita ketahui, Undang-Undang Nomor 32/2004 Pasal 36 tentang Pemerintahan Daerah, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden. Konon kekuasaan memberi izin itulah menjadi sumber dan penyebab presiden untuk segera atau memperlambat dalam mengambil keputusan, yang bisa saja diwarnai pertimbangan-pertimbangan tertentu. Mungkin saja prinsip penegakan azaz keadilan hukum bisa berobah menjadi azaz penyelamatan awak satu kubu.

Memang sikap pro dan kontra muncul di kalangan masyarakat menyangkut izin pemeriksaan dari presiden. Pakar hukum pidana Rudi Satrio misalnya, menganggap kewenangan pemberian izin presiden bisa menjadi batu sandungan dalam proses percepatan penegakan hukum sehingga perlu ditinjau kembali. Namun pihak pemerintah menyatakan bahwa Kejaksaan dan Kepolisian bisa menangkap dan memeriksa kepala daerah yang diduga terlibat korupsi, bila lewat 60 hari izin pemeriksaan presiden tidak kunjung keluar.

Namun faktanya banyak kejadian, pihak Kejaksaan dan Kepolisian setempat tidak menggunakan kewenangan tersebut dengan alasan dan pertimbangan yang justru di luar koridor etika hukum. Artinya, dalam keseharian antara kepala daerah dengan unsur Kejaksaan dan Kepolisian merupakan satu kesatuan yang selalu bersama dalam tugas, sehingga melahirkan ikatan-ikatan emosional yang menjurus primordial. Ketika mereka dihadapkan oleh kenyataan harus bersikap sesuai koridor hukum, sementara satu sama lain selama ini sudah saling memberi dan menerima, muncullah pergolakan sikap antara hubungan keakraban yang manusiawi dengan ketegasan demi tegaknya hukum, akan menimbulkan suasana yang abu-abu.

Melihat berbagai contoh dan gambaran adanya ketimpangan antara cita-cita penegakan hukum dengan pamrih kekuasaan dan politik, ternyata disini bisa dibuktikan bahwa sikap kompromistis yang masih melekat di dada sebagian elite bangsa, merupakan batu sandungan yang jadi penghalang. Untuk membuang jauh-jauh batu sandungan itu, memang bukan pekerjaan gampang. Filsafat yang menyatakan, “Tegakkan hukum dan keadilan kendati langit akan runtuh”, sekarang ini sudah menjadi pameo usang yang tidak sakral lagi! (Dtk/od)***

Posting Komentar

0 Komentar