Apa Benar PRRI Itu Pemberontakan Setengah Hati? (Oleh: Dasman Djamaluddin)


Malam 18 Agustus 2019, masih dalam rangka memperingati 17 Agustus 2019, saya berdialog dengan salah seorang mantan petinggi Kepolisian Republik Indonesia (RI) yang minta kepada saya untuk tidak disebutkan namanya. Ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat (Sumbar).

Banyak komentarnya yang menarik, salah satunya: "Pemberontakan PRRI.Pemberontakan setengah hati. Rakyat Sumbar yang jadi korban," ujarnya.

Kalimat pemberontakan, saya secara pribadi menjawab "tidak." Alasannya, saya pada hari Minggu, 26 April 2015 didampingi Yusron Lamisi, adik ipar Ahmad Husein dan juga teman di Fakultas Hukum Universitas Indonesia berkunjung ke rumah Ahmad Husein di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Pernyataan Ahmad Husein bahwa ia bukan pemberontak merupakan sumber primeir untuk saya, karena berbicara langsung dengan Ahmad Husein.

Tetapi perwira polisi itu yang menurut saya belum pernah bertemu Ahmad Husein seperti saya, tetap menganggapnya sebagai pemberontak. Bagaimana tidak, ujarnya. Ia menjelaskan, bahwa Sumbar kehilangan sumber daya manusianya satu generasi, kejatuhan moril.

Banyak orang Minang  yang tidak mau mengakui bahwa ia orang Minang, walaupun logatnya tidak mungkin bisa hilang, karena takut dikucilkan, diskriminasi.

Diakuinya, ia saja kelahiran 1952 mengalaminya, karena masih saja dianggap pemberontak, tetapi ia tidak pernah takut mengaku sebagai orang Minang, meski sudah jadi perwira tinggi dan dua kali jadi Kapolda.

Peristiwa ini, jelasnya,  jadi pelajaran untuk generasi muda Minang, pilihan politik itu harus cerdas, contohlah Jogyakarta, Sulawesi Selatan sekarang. Daerahnya maju sejalan dengan Program Pemerintah yang ada. Akhirnya perlahan kemakmuran dirasakan masyarakatnya.

Memang pada bulan Maret 1958, terjadilah perang saudara antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Pemerintah Republik Revolusioner Indonesia/PRRI) di kota Padang, Sumatera Barat. Perang berakhir pada bulan Agustus 1961.

Sebetulnya Perdana Menteri Djuanda terus terang melukiskan, keputusan pemerintah untuk melakukan aksi militer guna memadamkan perlawanan merupakan pilihan yang sulit.

Mengapa Djuanda berpikiran demikian? Karena dalam pandangan pribadinya, bagaimanapun juga aksi militer akan memakan korban jiwa di kedua belah pihak. Tetapi Djuanda juga menyatakan mengapa dari pihak PRRI tidak memberikan pilihan lain kepada pemerintah pusat.

Posting Komentar

0 Komentar