Kekerasan Terhadap Jurnalis Naik Hampir 100%?

Ketua AJI Suwarjono (dua dari kanan) di acara WPFD 2017 di JCC Senayan. (Foto:Antara)
Ketua AJI Suwarjono (dua dari kanan) di acara WPFD 2017 di JCC Senayan. (Foto:Antara)
JAKARTA, KORANTRANSAKSI.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunggu realisasi janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang saat kampanye akan menjamin kebebasan pers. Seperti diketahui, belum lama ini di Papua jurnalis tivi ketika meliput sidang pilkada diancam mau dibunuh. Begitu pula masih terbatasnya peranan untuk jurnalis kita meliput disana. Angka kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia juga masih tetap tinggi di era pemerintahan Jokowi sekarang ini.
Kekerasan terhadap wartawan mencapai 72 kasus dalam setahun terakhir. Bandingkan dengan 2014 yang hanya ada 42 kasus, lalu 2015 naik jadi 44 kasus dan puncaknya pada 2016 ada 78 kasus. “Kekerasan pada jurnalis naik signifikan dalam dua tahun terakhir ini. Dari 2015 ke 2016 terutama, kenaikannya hampir 100 persen,” kata Ketua AJI Indonesia Suwarjono di sela perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day 2017 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat, Rabu lalu, 3 Mei 2017.
Menurut Suwarjono, angka-angka tersebut memperburuk situasi karena hampir sebagian besar kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis pada masa lalu pun banyak yang belum terungkap. Sedikitnya delapan dari 12 kasus kekerasan pers yang sudah menahun belum juga ada tindak lanjut dan pengusutan tuntas. Suwarjono melihat, negara seolah memang melakukan pembiaran.
“Kami tidak butuh lips service seperti Presiden Jokowi. Pernyataan Presiden RI Joko Widodo bahwa Papua terbuka bagi peliputan jurnalis asing, jauh panggang dari api,” kata Suwarjono lagi. Praktik pembiaran negara terhadap para pelaku, yang faktanya banyak juga dari kalangan aktor negara ini, bisa disebut sebagai praktik impunitas. Dan praktik itu terus berjalan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis. Aktor negara itu bisa birokrat, polisi, atau militer, tambahnya.
Contoh kekerasan misalnya pernah terjadi kepada jurnalis di Medan, Sumatera Utara yang dilakukan sejumlah prajurit TNI Angkatan Udara dari Landasan Udara Soewondo. Peristiwanya terjadi pada 15 Agustus 2016. “Itu adalah contoh bagaimana aparat hukum bekerja dengan lambat, cenderung memacetkan proses hukum, membuat para pelaku kekerasan itu bebas dari hukuman,” tutur Suwarjono yang pernah aktip di Okezone itu lagi.
Di sisi lain, kekecewaan AJI pada Jokowi berpusat pada pembatasan peliputan di Papua. Padahal, kalau jurnalis asing mau melakukan peliputan di kawasan lain di Indonesia, di luar Pulau Papua, mereka diberi kebebasan. Perbedaan perlakuan ini tak pelak membuat AJI bertanya-tanya, “Sebenarnya status di Papua itu apa?”
“Kalau memang statusnya darurat militer seperti di Aceh dulu, kami paham kalau jurnalis tidak boleh melakukan peliputan. Tapi Papua kan tidak begitu statusnya,” imbuh Suwarjono. Jika ada wartawan yang ingin pergi ke Papua, mereka harus lebih dulu memberikan penjelasan yang sangat rinci. Mau ambil isyu apa saja, ke mana, menemui siapa dan sebagainya. Untuk wartawan asing, persyaratannya lebih rumit lagi.
Menurut dia lagi,mungkin Presiden Jokowi maunya terbuka, tetapi praktik di level bawahnya tidak terealisasi. Bayangkan, dengan adanya clearing house itu, kalau jurnalis mau ke Papua ada berapa banyak screening yang harus dilalui,” tandasnya. Suwarjono berharap, ke depannya pemerintah bisa membuka akses peliputan jurnalis asing di Papua. Itu pun dengan syarat, harus dipastikan setiap jurnali asing diberi kebebasan untuk meliput secara objektif berbagai dimensi kehidupan di Papua. (Od/Ok)***

Posting Komentar

0 Komentar