Jangan Jadikan Natuna Seperti Spratly ( Oleh : Dasman Djamaluddin )


Menteri Luar Negeri RI sudah pernah memanggil Duta Besar Republik Rakyat China (RRC) untuk Indonesia dalam rangka  menyampaikan  protes.

Begitu pula Panglima Komondo Gabungon Wilayah Pertahonan | (Pangkogabwilhan I) Laksamana Madya (Laksdya) TNI Yudo Morgono telah pula  menggelar apel pasukan intensitas operasi rutin TNI dalam pengamanan laut Natuna di pelabuhan Selat Lampa, Ranai Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Pasukan ini terdiri dari sekitar 600 personil dengan jumlah KRI yang ada sebanyak lima unit kapal.

Apakah Indonesia siap perang sebagai buntut insiden masuknya kapal nelayan asal China yang masuk ke perairan Natuna ?

Memang sangat jelas, tidak hanya kapal ikan, tetapi juga kapal penjaga pantai atau coast guard negara itu yang terang-terangan sudah masuk dan mengawal penangkapan ikan secara ilegal.

Lebih membuat rakyat kita marah, pemerintah Beijing lewat Kementerian Luar Negeri bahkan mengklaim kalau kapal nelayan dan coast guard tak melanggar kedaulatan Indonesia.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan, bahwa China tidak melanggar hukum internasional dan memiliki hak dan kepentingan di wilayah perairan yang disengketakan.

Dasar yang dipakai Negeri Tirai Bambu itu, yaitu dengan mengklaim perairan Natuna yang masuk wilayah Laut China Selatan adalah sembilan garis putus-putus atau nine dash line.

Nine dash line merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Sementara Indonesia berpegang teguh kepada konsensus seluruh anggota PBB pada tahun 1982, yang  menyepakati lahirnya Konvensi Hukum Laut 1982 atau disebut juga "United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS)," yang di dalamnya terdapat ketentuan tentang Kepulauan dan Negara Kepulauan (Pasal 46, 47 dan 48 UNCLOS 1982).

Oleh karena itu, negara yang wilayahnya berupa kepulauan dan memenuhi persyaratan kesatuan geografi, politik, ekonomi dan sejarah dapat menjadi negara kepulauan , yaitu negara yang berhak  untuk menarik garis pangkal lurus perbatasan dari titik ke titik pulau atau bebatuan yang terluar.

Perairan luar yang berada di bagian dalam garis pangkal lurus perbatasannya disebut perairan kepulauan, sedangkan laut yang mengelilingi bagian luar garis pangkal sejauh 12 mil disebut laut wilayah dan dan yang 200 mil disebut zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Selanjutnya terusan darat dari garis pangkal lurus perbatasan ke arah laut sampai 200 mil atau lebih sesuai konfigurasinya disebut landas kontinen. Batas laut dan dasar laut dengan negara tetangga dibagi sesuai prinsip sama jarak.

Inilah beberapa ketentuan tentang hukum laut internasional. Apalagi sekarang bangsa ini sedang giat-giatnya membangun bidang kemaritiman. Dengan UNCLOS 1982 kedudukan NKRI bersifat final.

Garis batas wilayah Indonesia yang ditarik berdasarkan UNCLOS 1982 adalah sah dan dijamin oleh PBB. Semua aparat penegak hukum NKRI di laut, baik yang militer, polisi dan sipil, termasuk para pejabat kementerian luar negeri, tidak ragu jika terjadi pelanggaran oleh pihak asing mana pun, termasuk dari China, meski negaranya memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB. Oleh karena itu pula jangan jadikan Natuna seperti Kepulauan Spratly.

Saya pernah mengulas tentang ancaman RRC ini di Kompasiana 7 Juli 2019. Pada waktu itu, saya mengulas buku berjudul "Ancaman dari Utara," karya almarhum Drs. Soepeno Sumardjo. Diterbitkan CV Karyaka, Jakarta, 1980. Jumlah halaman 122 dan buku ini diberikan kepada saya ketika beliau menjabat sebagai Pemimpin Umum Majalah Topik, Grup Merdeka. 

Pemimpin Umum dan Pemimpin Perusahaan ketika saya bergabung di Grup Merdeka itu tanggal 2 September 1985, adalah Burhanudin Mohamad (B.M) Diah.

Sedangkan Drs. Soepeno Sumardjo adalah orang kepercayaan B.M.Diah. Lulusan Universitas Gajah Mada tahun 1968 ini mulanya berada di bidang penerangan Departemen (sekarang Kementerian) Perindustrian RI. Kemudian sejak  tahun 1968 mulai masuk di lingkungan penerbitan kelompok Merdeka. 

Ia selalu mendampingi B.M Diah jika berkunjung ke luar negeri, termasuk ketika B.M. Diah mewawancarai Sekretaris Jenderal Komunis Uni Soviet Mikhail Gorbachev pada tanggal 21 Juli 1987 sore di Kremlin.

Tentang China ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini memaparkan hasil pertemuan G-20 yang berlangsung di Osaka beberapa waktu lalu. Khususnya pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping.

Bagaimanapun, pernyataan Sri Mulyani dalam pertemuan tersebut, bahwa China siap membantu Indonesia dalam melakukan pembangunan. Salah satu caranya adalah dengan memberikan spesial fund atan pendanaan khusus, tetap dicermati dengan hati-hati.

Asal tahu saja, beberapa perusahaan China sendiri saat ini sudah melakukan kerjasama dengan perusahaan Indonesia dalam meningkatnya investasi.

" Tidak ada diskusi mendalam tapi waktu itu Presiden (Joko Widodo) memang menyampaikan dalam pertemuan sebelumnya, Presiden dengan Xi Jinping disepakati bahwa China bisa mendukung pembangunan di Indonesia dengan membuat special fund," ujarnya saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 3 Juli 2019.

Tetapi apa yang dimaksud "special fund" tersebut. Inilah yang perlu dikaji oleh tim Menteri Keuangan RI. Untuk Indonesia kita juga berhati-hati mengenai kaitan ekonomi dengan politik. Di dalam buku "Ancaman dari Utara," kita selalu diingatkan kepada peristiwa dukungan RRC dalam Gerakan 30 September/PKI.

Halaman 48 dan 49 buku "Ancaman dari Utara," sangat jelas diutarakan dukungan terhadap PKI. Bahkan dicatat dalam buku ini: "ketika penanaman modal dipromosikan melalui undang-undang tahun 1967 dan 1968, orang-orang Tionghoa telah mendapat kesempatan untuk mengembangkan peranan ekonominya di Indonesia.

Dikatakan lebih lanjut, bahwa politik dunia RRC sejak sebelum tahun 1950 sudah jelas berambisiuntuk menguasai kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu dengan gagalnya usaha RRC di Indonesia dan termasuk gagalnya dukungan terhadap rejim Pol Pot di Phnom Penh, maka kini prosesnya tinggal Beijing-Pyongyang. 

Nampaknya Beijing terus berusaha supaya poros Beijing-Jakarta dapat dipulihkan melalui jalan Bangkok dan Kuala Lumpur dengan dalih menyokong gagasan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) mengenai kawasan damai, bebas dan netral. Namun pemerintah dan rakyat Indonesia harus cukup waspada terhadap setiap manuver Beijing.  Sudah bisa dianalisa bagaimana sikap China di Natuna.

Posting Komentar

0 Komentar